ARTIKEL SELF ESTEEM PADA ANAK DISLEKSIA
Seringkali kita menemukan anak-anak yang dirasa berkembang lebih lama dalam
hal akademik dan pengembangan diri lainnya. Pada umumnya, anak-anak yang
memiliki hasil akademis yang kurang baik dan motivasi yang rendah dicap sebagai
anak yang bodoh dan pemalas.
Namun, apakah itu benar? Sebenarnya apa yang terjadi pada anak-anak
dengan performa akademis rendah dan motivasi yang rendah?
Serta mengapa ada sebagian dari mereka yang terlihat cenderung menarik
diri namun ada juga yang memiliki semangat baru untuk melangkah maju
lagi untuk belajar dan bersosialisasi?
Ternyata, akademis yang rendah, pengelolaan diri yang kurang baik, kesulitan
untuk mengatur diri dalam kehidupan sehari-hari, sosialisasi yang seringkal
terkendala memahami situasi sosial dan komunikasi sosial serta kemampuan untuk
memprioritaskan suatu tugas menjadi ciri-ciri yang dapat kita identifikasi sebagai
salah satu gejala-gejala disleksia.
Secara umum, disleksia (dyslexia) merupakan kesulitan belajar spesifik yang
dialami oleh anak-anak dengan tingkat kecerdasan (IQ) rata-rata atau diatas rata-rata
(90-110) dengan ciri khas kesulitan untuk membedakan bunyi huruf, huruf terbalik,
kesulitan membaca, dan memahami maksud dari bacaan. Jadi, pada anak-anak
disleksia, kesulitan yang dialaminya dapat teridentifikasi secara spesifik misalnya
dalam hal numerasi (diskalkulia), bahasa (disleksia), maupun koordinasi gerak motorik
untuk menulis dan membaca (disgrafia) serta gangguan koordinasi gerak tubuh dalam
aktivitas keseharian (dispraksia).
Biasanya, gangguan belajar spesifik ini terdeteksi pada usia anak sekolah, terlihat
dari capaian akademisnya. Seperti yang dilansir APA pada tahun 2013, prevalensi
disleksia sebesar 5-15% terjadi pada anak usia sekolah. Anak dengan kesulitan belajar
spesifik biasanya dilabeli sebagai slow learner, malas dan bodoh. Akhirnya anak merasa
frustasi, merasa rendah diri dan pada akhirnya anak cenderung menarik diri dari
lingkungan sosial bersama teman sebaya. Hal ini disebabkan, ketika seorang anak
sebagai individu berada dalam lingkungan sosialnya yang semula memiliki ekspektasi
melakukan aktivitas bermain dan tergabung dalam sebuah kelompok, kemudian
mendapatkan respons perilaku dan ucapan dari teman sebaya (misalnya dibully) yang
dapat menyebabkan anak merasa tidak aman dan nyaman dengan lingkungan tersebut.
Pada akhirnya, anak yang sudah mengerti respon-respons sosial seperti itu, akan
cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain dan merasa rendah diri, menilai
dirinya berdasarkan apa yang ia rasakan dan pikirkan sebagai hasil dari pengalaman
gagalnya. Sehingga, hal ini dapat menyebabkan beberapa hal yang mengganggu self
esteem pada anak disleksia.
Self-esteem merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri yang muncul
dari proses perbandingan antara persepsi diri dan diri yang ideal. Selain itu berhubungan
juga dengan rasa aman dan stabil dengan teman sebaya di sekolah. Self Esteem dan
peer attachment (kelekatan dengan teman sebaya) yang positif merupakan faktor penting
yang dapat mempengaruhi kualitas hubungan sosial dan perkembangan individu itu sendiri.
Self esteem yang positif akan menghasilkan perasaan yang aman, nyaman, dan mampu
mengeksplorasi diri. Sedangkan, self esteem yang negatif akan menghasilkan perasaan
rendah diri, merasa tidak berarti dan tidak dihargai, tidak nyaman dan kurang harmonis
dalam pergaulan, sehingga menimbulkan depresi dan menarik diri. Maka, self esteem
terbentuk tidak hanya dari dalam diri sendiri, akan tetapi juga dipengaruhi oleh kualitas
hubungan interpersonal dalam hal ini adalah lingkungan sebaya.
Anak disleksia yang bisa beradaptasi di lingkungan sekolah dan menemukan minat
dan bakatnya akan berkembang pesat dan mengikuti standar kemampuan yang seharusnya.
Akan tetapi, anak disleksia yang kurang mampu untuk beradaptasi di lingkungan sebaya
akan cenderung berdampak pada motivasi belajar yang rendah, merasa rendah diri dan
menarik diri dari tugas sosial terutama dalam hal pertemanan.
Berdasarkan penelitian Isyalhana dan Kurniawati (2020), anak disleksia memiliki
self-esteem yang rendah dalam konteks sekolah yaitu skolastik dan interpersonal.
Penelitian tersebut menjelaskan peran penting sekolah yang dapat mempengaruhi
self-esteem pada anak. Tantangan besar yang dihadapi anak gangguan belajar adalah
ketika mulai masuk sekolah.
Sebaiknya dilakukan deteksi dini ke dokter anak dan psikolog anak untuk
dilakukan diagnosis dan penilaian disleksia secara komprehensif. Supaya anak tidak
mengalami banyak pengalaman gagal yang dapat mempengaruhi self esteem dan
dapat berefek domino terhadap tingkat motivasi serta kepercayaan diri. Maka, sangat
disarankan untuk segera dikonsultasikan ke dokter anak, bahkan sebelum usia
sekolah dasar.
Dalam tatakelola anak disleksi, diperlukan intervensi, diantaranya terapi remedial
dan kelas layanan disleksia. Terapi remedial merupakan bentuk intervensi yang dilakukan
untuk membantu anak disleksia dalam hal kesulitan belajar spesifik (diskalkulia, disgrafia,
dispraksi dan disleksia) berdasarkan profil anak secara individu dengan program yang
dibuat khusus berdasar profil individu masing-masing tersebut. Sedangkan Kelas Layanan
Disleksia merupakan program klasikal yang diperuntukkan anak-anak disleksia dengan
syarat tingkat kecerdasan normal dan berdasarkan rekomendasi dokter yang
bersangkutan. (Rostika Hardiyanti, S.Psi)
Referensi :
Isyalhana, A., & Kurniawati, F. (2020). Self-esteem anak sekolah dasar dengan disleksia.
Psyche 165 Journal, 13(2), 154-160.
https://jpsy165.org/ojs/index.php/jpsy165/article/download/18/19
Kembali
Komentar/ Tanggapan Artikel
404 Not Found
belum ada tanggapan/ komentar